Setelah bersepeda 10 hari di Bali, saya punya kesan tersendiri melihat bagaimana Bali menyikapi turis bersepeda atau siapapun yg memilih sepeda sebagai sarana transportasi utamanya disana. Kesan ini tentu saja sangat dangkal, saya cuma datang disana sebagai tamu selama 10 hari dengan melakukan biketrip kesana kemari. Ada beberapa hal yg saya lihat dan saya alami dari sekian kejadian, atau sekian belas obrolan dibeberapa lokasi dengan banyak orang disana tentang sepeda. Jadilah kesan itu kemudian menjadi satu image didiri saya tentang “Bali dan sepeda”.
Pertama, bagi saya Bali menyenangkan untuk bersepeda, sekaligus Bali bukan tempat yg nyaman untuk sepeda. Dua hal bertolak belakang ini sepeti dua wajah dalam sekeping uang logam. Kenyataannya ada disana dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Bali yg dikatakan sebagai salah satu wilayah yg paling maju industry pariwisatanya ditanah air ini mau tidak mau dia adalah contoh terbaik bagaimana melayani turis yg datang ingin bersepeda disini . Jika dia jelek, maka bisa dibayangkan daerah lainnya pasti lebih buruk dari Bali, dan jika dia baik maka itu akan jadi contoh yg sehat buat daerah lain.
Sekarang apa maksudnya Bali sangat enak buat bersepeda. Pulau ini tidak besar amat, lokasi wisata dan sarana penunjangnya yg cukup solid (hotel, café, warung makan, dll) sangat berdekatan satu dengan lainnya. Pilih arah manapun pasti akan fun dan terjamin selamat kok. Jarak berapapun yg kita pilih pasti oke oke aja tuh, kemanapun arah berjalan juga fine saja. Bahkan seorang pesepeda pemula yg bisanya cuma menghabiskan 15 km per hari pun, bisa menikmati perjalanan disini tanpa perlu takut kelaparan, atau pingsan kehausan, gak dapat hotel, gak ada telpon, dll. Intinya, pesepeda dari kelas amatir, menengah, sampai yg jago, semua bisa menikmati bersepeda disini. Medannya pun juga tersedia berbagai jenis mulai dari total datar dari ujung ke ujung hingga kearea tanjakan maut, karena itu spt dikatakan didepan, siapapun akan enjoy menikmati biketrip di Bali. Bener bener surga deh.
Tapi Bali juga membawa sisi tidak menyenangkan buat bersepeda. Lihat saja seluruh jalan di Bali, apakah kalian bisa menemukan satu saja ruas jalan yg punya rambu jalan yg berpihak pada cyclist? Jawabannya: NOL BESAR alias GAK ADA SAMASEKALI. Ironisnya secara bertolak belakang di Bali bermunculan rental sepeda onthel,atau paket wisata dengan sepeda, turis dibujuk mau datang dan menikmati bersepeda di Bali, brosur wisata sepeda sudah ada, tapi dijalanan raya Bali sama sekali tidak memberi rambu khusus yg memberi perlindungan terhadap turis bersepeda atau pesepeda umumnya. Artinya simple aja, kalo kita turis keserempet mobil, dipepet motor dijalan maka kami pesepeda gak ada perlindungan rambu sama sekali. Rambu itu fungsinya juga untuk mengingatkan ranmor “sikuat” agar mengalah kepada sepeda yg lebih lemah, rambu adalah sebuah bentuk konkret secara visual dijalanan. Rambu akan memaksa semua org patuh dan saling menghargai pemakai jalan tsb. Rambu juga mengajarkan secara positip semua org agar selalu ingat apa yg boleh dan apa yg tidak boleh dilakukan. Di Bali sendiri semua isu musibah yg menimpa turis biasanya enggan dibesar besarkan, karena takut berdampak pada industrinya, jadi harap maklum aja jika ada pesepeda yg celaka karena tidak ada rambu tsb, atau sikap ngebut gila gilaan ranmor dijalan raya, mungkin hasilnya juga akan berlalu begitu saja bak angin. Intinya pesepeda disana dalam posisi lemah.
http://hsgautama.blogspot.com/search/label/A-SALE
Portal memblokir jalan sepanjang garis pantai
Kedua, Bali tidak mempunyai satu area role model yg menjadi wilayah percontohan dimana sepeda adalah kendaraan yg lebih diutamakan disana, atau cukup dibuat wilayah itu penuh rambu khusus yg berpihak pada pemakai sepeda onthel. Padahal kasat mata, ada beberapa lokasi yg cocok untuk ini, misal Ubud, sepanjang garis dari Sanur terus ke pantai Pantai Baruna, Kuta, bablas lagi ke ke Double Six dan seminyak sebagai wilayah terbatas dengan jarak menengah. Sayang, garis pantai yg disebutkan tadi juga tidak tersambung utuh. Beberapa bagian terputus karena wilayah tsb dikuasai oleh sebuah Resort super mewah dan memotong jalan garis pantai. Itu belum cukup, ada banyak resort sengaja memasang portal yg memblokir jalan sepanjang pantai. Sunguh sayang tuh.
Untuk jarak jauhnya maka area lainnya yg perlu dipasang rambu sepeda adalah mulai dari airport ke Kuta, bypass Ngurah rai, Sanur, lalu hingga ke Ubud. Jalur jarak jauh itu perlu dibuat agar banyak yg tertarik menjajal bersepeda antara Kuta ke Ubud, selain tentu saja akan membagi pemerataan pendapatan buat penduduk disepanjang jalur jalan tsb. Mengenai kenapa ubud dipilih sebagai role model, karena semua tahu, bahwa diarea ini penyewaan sepeda (bike rent) tumbuh subur, dan banyak turis lalu lalang disana memakai sepeda. Jadi tidak berlebihan jika area itu dijadikan wilayah percontohan. Gak perlu seluruh Bali dipasang rambu khusus untuk pesepeda.
Ada catatan khusus ttg jalan bypass, saya sendiri sempat mengeluarkan teriakan memaki dan mengacungkan satu kepal tangan dengan nada marah karena dipepet oleh Nisan Terrano yg ngebut dan mepet saya ketika jalan disana. Mobilnya mewah, tapi sayang perilakunya kayak orang bodoh. Bypass Ngurah Rai saya pikir adalah salah satu jalan mulus terpanjang di Bali yg paling berbahaya bagi pesepeda. Orang yg lewat disana ngebut semua, mereka pun tampaknya kebanyakan tidak mempunyai kultur menghargai sepeda (baca: si lemah). Itu sekali lagi karena tidak ada rambu, dan tidak adanya kampanye kesadaran mengalah kepada si lemah. Sikuat nyelonong saja minta serba didahulukan. Bypass sendiri mempunyai bumper jalan selebar sekitar 1 m, biasanya dibuat parkir oleh mobil lain. Rasanya bumper bahu jalan itu bisa saja diberi cat bicycle sign agar mengingatkan ranmor spy mau mengalah apabila ada sepeda lewat disana.
Bumper jalan 1 meter disepanjang Ngurah Rai bypass
Ketiga, mayoritas orang Bali tidak suka bersepeda. Ini bukan omongan saya. Kalimat itu didapat dari hasil ngobrol dengan belasan orang Bali yg saya jumpai selama perjalanan. Mereka anggap sepeda itu hanya untuk anak kecil, atau org tua didaerah desa. Turis naik sepeda gakpapa kata mereka, tapi mereka sendiri gak suka dengan sepeda, mending naik motor saja. Omongan itu membuat saya mikir, apakah karena itu lantas mereka tidak punya kultur menghargai sepeda (si lemah) yg lewat dijalan dengan perilaku asal srudak sruduk? Jika memang tidak, kenapa lantas Pemda nya diam saja tidak mengajarkan kultur itu? Bukankah jika ada turis naik sepeda lantas celaka keserempet maka nama Bali sendiri bisa jelek dimata banyak orang apabila itu menyebar di internet dan forum diskusi travelling disana sini? Kultur suka sepeda perlu digalakan disana, terutama diwilayah kantong turis yg jaraknya serba berdekatan misal area di Kuta ke Double Six, dan pilihan lain adalah Ubud ke Monkey Forest dan Campuhan. Faktanya nih, saya sendiri dipandang dengan rasa heran oleh mereka kenapa mau membawa tas besar besar naik sepeda sampai 200 km sana sini di Bali? Buat mereka, itu aneh. Saya kaget juga menerima sikap itu, karena saya tahu bahwa disini turis bule paling banyak datang, bike rental juga menjamur, ternyata mereka masih gagap dan heran melihat bike touring spt saya (apalagi yg dipedesaan). Di Sanur, bahkan tukang parkir menghardik saya suruh minggir dan sepeda jangan ditaruh disana. Rasa kaget itu lantas membuat saya sedih, wah jika Bali yg katanya hebat wisatanya saja begini, apalagi daerah lain dong. Masyarakat Bali sendiri perlu juga gencar membuat kampanye suka sepeda atau funbiking, shg ini akan membuat sekian juta penduduk lainnya yg pakai ranmor akan melek bahwa disekitarnya sudah ada sepeda lalu lalang. Saya gak paham bagaimana dukungan media lokal terhadap sepeda. Yg jelas di Jabodetabek dan Jawa umumnya, banyak org media yg jadi maniak sepeda tulen, dan merekalah jugs (salah satu komponen melengkapi lainnya) yg menjadi motor penggerak memasyarakatkan bersepeda dengan rajin membuat artikel atau liputan kegiatan sepeda.
Keempat. Jika berhenti disalah satu toko di pojokan Kuta, saya bertanya: dimanakah sepeda bisa dikaitkan ditiang besi dan dikunci? Parkir sepeda yg secure sangat susah dilakukan di Bali, baik itu di Kuta sampai kewilayah Ubud. Sumpah, ini masalah tersendiri yg bikin pusing. Bahkan mau cari makanpun kudu cari resto atau warung yg terbuka shg sepeda bisa disenderkan barengan disisi saya. Area trotoar didepan wilayah pertokoan di Bali biasanya flat semua. Tanpa pohon, tanpa tiang. Jangan harap ada “bike rack” disana. Bikin jengkel, karena katanya wilayah Bali menyediakan wisata sepeda, penyewaan sepeda ada dimana mana, taunya tempat untuk parkir dan mengunci sepeda saja gak ada. Parah juga yah, konsep jualan promo wisata dan aplikasi benar benar buruk. Saya juga sempat bingung ketika mau masuk pura harus parkir sepeda dimana. Misal ketika stop di goa gajah, dan sepeda dilarang masuk kedalam, saya kebingungan mau mengikat sepeda dimana. Ada cerita bagus, disalah satu resto open air disebuah taman nan luas milik sebuah resort mewah saya sempat berhenti mau makan malam. Area makan disebuah kebun luas, saya menuntun sepeda kearah meja makan disana karena saya tahu gak ada tempat untuk mengunci sepeda disebuah tiang yg solid disekitar ini, juga tanpa pagar untuk menyandarkan sepeda. Ehhh, salah satu pelayannya ibu ibu bersuara lantang, Pak sepedanya taruh di satpam. Saya menggeleng dan bilang, disana tidak ada tiang besi untuk mengikat sepeda, okelah kalo gak boleh saya pergi. Ternyata boleh saja tuh sambil dipandang dg tatapan aneh oleh ibu tadi. Lantas stlh pesan makan ini itu, salah satu pelayan cowo lainnya mendekat dan mengajak ngobrol, ramah. Dia tertarik melihat bentuk seli yg aneh, dan bertanya ini itu termasuk harga sepeda tsb. Begitu saya jawab detail, dia terperangah kaget dan mengucapkan kalimat: "Pantas Bapak gak mau sepeda dititpkan di Satpam". Saya tidak tertarik dengan isi kejadian ini, tapi ada value lain yg saya dapat, bahwa parkir sepeda yg aman sangat susaaaaaah didapat karena tidak ada tempatnya dan saya mendapatkan penolakan karena dianggap bhw sepeda itu bisa ditaruh dimana saja tanpa terkunci shg tamu gak usah membawanya didekat meja makan. Itu moral ceritanya. *** hsgautama.blogspot.com
"Melali pedidi" are a local term using Balinesse language, meaning: im going anywhere i want.
No comments:
Post a Comment
PERHATIAN :::::::::::
* Komentar DI MODERASI oleh admin dengan persetujuan.
* Komentar HANYA soal isi blog ini saja. Promo dilarang disini, maaf.
* Jika kalian penipu online, fake onlineshop jangan harap bisa posting disini. Blog ini tidak dipakai buat numpang aksi penipuan oleh pihak lain. Carilah makan halal sana dan jangan menipu.
* NO offensive item, NO haters gak jelas, NO kekerasan, NO SARA, NO Sex item whatsoeva, NO Judi online, NO drugs, NO Alcohol, NO praktek dukun mistik dan pesugihan.