Mengenal Alor adalah sama dengan artinya melihat tanah ini sebagai “ibukota mistik” dari kekayaan budaya disepanjang jalur Flores dan NTT. Ini seperti orang di Jawa Barat memberi cap bahwa gudang mistik dan ilmu ghaib Jawa Barat berasal dari Banten karena menganggap orang Banten pasti pandai memainkan ilmu ghaib. Kira kira seperti itulah. Pulau Alor, kabupaten diujung paling timur NTT digambarkan penuh pesona warna warni mistik dan ilmu ghaib atau sihir. Dipastikan, banyak org Flores segan dengan orang Alor karena kepercayaan ini.
Bahkan kata teman orang lokal, dengan yakin dia mengatakan, bahwa menurut sebuah buku, Pulau Alor mempunyai kekuatan mistik nomor dua terhebat setelah Afrika. Entah buku apa yg dia baca, tapi cerita kawan itu secara jelas memberi posisi orang Alor sebagai penduduk yg hidupnya penuh dengan misteri ilmu ghaib atau sihir. Cerita orang terbang antar pulau dan antar desa adalah cerita biasa disini. Mereka adalah kaum “suwanggi” yang dengan mudah berpindah antar kampung dan desa ke desa, antar pulau, secepat angin bertiup dengan kecepatan hanya sekedipan mata saja.
Dalam realitasnya, kondisi alam Pulau Alor memang fantastis penuh kesulitan untuk berpergian dari satu kampung kekampung lainnya. Daerah pesisir pantai atau tanah datar paling banter hanya mengisi 30 persen dari keseluruhan geografis pulau yg dikuasai oleh menjulangnya pegunungan yg memanjang diseluruh pulau. Naik motor atau mobil saja paling banter hanya efektif menjelajahi jalan aspal disepanjang pesisir pantai yg menyusuri garis pantai pulau ini. Sisanya adalah jalan yg membentang memotong area pegunungan. Penuh tanjakan maut, tikungan tajam dengan jurang lebar disana sini. Dahsyat, dan mendebarkan hati. Wajar jika kita lantas mendengar bahwa penduduk di Alor masih bisa pergi terbang antar pulau mengingat memang kondisi alamnya luar biasa sulit. Wah alangkah enaknya jika cuti bisa terbang sendiri gitu, gak usah bayar tiket pesawat yang mahal sampai 700 ribu lebih, dong.
Penduduk Alor rata rata prianya punya indikasi “narsis berat”. Suwer.
Coba saja kalian jalan kepusat keramaian, pakai daypack, kacamata hitam, sun lotion, dan sibuk memotret, maka dengan cepat akan muncul teriakan memanggil kita dari semua arah minta difoto. Mereka suka difoto dan tak segan meminta untuk difoto. Bahkan kesannya kayak memaksa. Dengan tampangnya yg “rada seram”, mata tajam, kulit kelam hitam, dan kadang bertelanjang dada tegap, memegang parang panjang, nyali kita bisa mendadak ciut seolah mereka memaksa dengan kekerasan untuk difoto oleh turis yg datang kemari. Teriakan “Hey Kakak, kemari” akan menyambut orang asing yg sibuk membuat foto dijalanan kota. Semua orang di Alor menyapa tua muda, cowo dan cewe dengan sebutan “kakak”. Mirip dengan orang Sunda yg menyebut “Teteh” dan “Akang”. Bahkan Bupati Alor juga boleh disapa dengan “kaka”, tidak harus “bapak”. Rasanya, spt sebuah sikap egaliter yg lebih bersahaja dibanding harus menyebut dengan “pak”.
Mereka penduduk lokal dengan mudah mengenali “orang asing atau turis” karena tingkah laku kita yang kayak turis asli, atau karena “kemasan” muka kita beda jauh dari muka kebanyakan orang disana. Penduduk Alor perpaduan mirip dengan Ambon dan Papua. Bisa dikatakan, bukan Ambon (tapi persis Ambon), dan bukan Papua (tapi perawakannya hampir sama). Agak bingung menjelaskan ini. Yang pasti, kita bertiga yg baru tiba di airport Mali diujung Utara Kalabahi, dengan mudah dikenali oleh penjemput kami karena “beda tongkrongan”.
Sehari sebelum menuju Alor, saya dan Nefran mendapat satu teman perjalanan baru yakni Charlie yg bergabung di Kupang. Bertiga kita terbang ke Pulau Alor memakai pesawat kecil TRIGANA dipagi buta dari El Tari, Kupang. Pagi yg cerah kita tiba di airport di Mali Alor dan langsung menuju kekota Kalabahi berjarak sekitar 30 menit. Kami bertiga diberi tumpangan gratis oleh salah satu pejabat Sudin Perikanan Alor, Ibu Erna Da Silva. Ibu baik hati ini mengantarkan kami hingga kehalaman hotel.
Kalabahi adalah kota yg terhampar didepan sebuah teluk yg indah. Sepertinya, cuma Kalabahi saja yg letaknya didalam sebuah teluk selebar ini diseluruh deretan propinsi NTT. Indah dan mengesankan. Didepan garis pantai teluk indah ada satu hotel sederhana bernama Adi Darma (0386-21280, 21049) dan kami menginap disana. Jelek banget sih engga, tapi dibilang neat juga tidak. Ratenya masuk akal, jika cuma sekedar rebahan dikamar ber AC, minus TV set, dan susah mendapatkan sinyal HP, harganya dibanderol tak lebih dari 100 ribu saja kok. Ini lebih murah dari Hotel Kenari (0386-212080) yg lebih bagus, jauh dari garis pantai, kamar singlenya dilepas dengan harga 150 ribu an. Adi Darma, cocok untuk kelompok backpacker dengan budget ngepas. Jangan lupa jika menginap disini pakai autan atau beli obat nyamuk semprot. Nyamuk lumayan subur disini.
http://hsgautama.blogspot.com/search/label/A-SALE
Untuk turis, masalah transportasi bisa menjadi problem rumit disini.
Angkot menguasai jalanan sebagai angkutan utama, sebutan lokalnya adalah bemo. Di Kalabahi, warna bemo terbagi dua warna. Warna merah artinya angkot untuk dalam kota. Sedangkan warna biru untuk angkot pedesaan. Menyewa angkot jarak dari airport Mali ke Kalabahi bisa diberi benderol 100 ribu. Sebuah harga yg lumayan besar untuk jarak tempuh tak lebih dari 20 menit, jalanan lapang tanpa kemacetan.
Angkutan alternatif menembus tanjakan pegunungan dilayani oleh “panzer” yang sesungguhnya adalah Jeep Toyota Hardtop 4wheel. Alam ganas digunung hanya bisa ditembus memakai Jeep, bukan mobil biasa atau sepeda motor. Mesin penggerak 4 roda mampu menembus tanjakan maut dan turunan tajam hingga kepelosok desa. Panzer akan mudah terlihat ngetem dipagi hari disekitar Pasar Lama. Siang hari mereka lenyap semua dari terminal ngetemnya dan menginap dipucuk pegunungan. Menjajal panzer menuju satu desa terpencil adalah salah satu tantangan yg beda. Nyali diuji disini karena satu panzer dengan 15 penumpang yg bergelantungan disana sini sampai diatas kap mesin, naik merayap berkelok kelok ditikungan maut antara ketiak lembah dan jurang sangat dalam. Jangan tanya, banyak lho cerita panzer nyungsup masuk jurang.
Pilihan angkutan lain adalah menyewa ojek.
Di Kalabahi, lapangan pekerjaan secara ekonomis sangat terbatas. Pekerjaan favorit yg dikejar oleh penduduk disini adalah menjadi PNS. Jika tidak bisa jadi PNS dan tidak mau pergi keluar pulau untuk bekerja, maka mereka biasanya menjadi tukang ojek (selain kerja dilaut sebagai nelayan). Karena itu jangan takut kita terlantar dijalan, banyak ojek bertebaran disana sini. Kita juga menyewa ojek karena alas an praktis dan murah. Disini kami memakai orang lokal, Tedi 0852-392-65406. Sewa ojek atau motor per hari bisa diperoleh dengan harga 50 ribu. Awalnya kami sempat diberi harga mendekati 75ribu. Ditawar lagi jadi harga yg lebih masuk akal sesuai harga sewa motor di Bali. Mau tidak mau memang harus disandingkan dengan Bali karena kedekatan wilayah.
Aneh dong jika harga sewa kendaraan disini justru lebih mahal dari Bali. Karena itu standarisasi harga menjadi urusan pelik. Tiap “ojekers” atau “bemo-ers” bisa pasang harga beda. Cara seperti ini tidak menguntungkan buat pariwisata disini karena bisa membuat jera turis karena mengira dirinya “dikerjain” dalam harga sewa. Jika turis jera kemari, lantas mereka mau dapat apa? Pemda nya harus memberi edukasi yg baik kepada penduduk jika memang serius menata industri pariwisata disini.
Selain hal minus diatas, turis lokal bisa merasa “feel at home” disini dalam soal bahasa. Jangan takut, disini seratus persen pakai bahasa Indonesia. Dan tidak ada propinsi manapun dinegeri ini yg penduduknya tua muda memakai bahasa Indonesia yg baik dan benar, kecuali disini. Alor mempunyai 50 jenis lebih bahasa daerah. Tiap suku beda bahasa, dan tiap kampung bisa beda bahasa juga. Karena itu, untuk menyambung urusan budaya dan perniagaan sehari hari, mereka memakai bahasa Indonesia. Pokoknya bahasanya “lempeng” banget deh. Biar sampai kebagian manapun dari Alor, pasti dengan mudah kita menyambung pembicaraan dengan penduduk setempat. Mereka adalah penduduk yg punya rasa ingin tahu yg besar. Jika kita bertiga berhenti disalah satu sudut desa, maka dengan mudah dan cepat penduduk akan berkumpul mendekati kami. Mengajak berkenalan dan ngobrol. Mereka bukan penakut dengan pendatang, dan terbuka dengan orang asing. Tampangnya bisa jadi seram, tapi mereka penduduk yg baik dengan orang asing.
Problem sosial paling serius disini biasanya adalah perkelahian antar kampung. Jika antar kampung ribut, mereka bisa turun kejalan sambil membawa batu lontar, massa dalam jumlah besar, parang, atau panah busur. Seorang kawan juga memberi nasehat agar berhati hati jika membawa sepeda motor, jangan sampai menabrak hewan spt ayam, kambing, atau babi. Urusan nabrak hewan bisa jadi panjang jika seusai nabrak langsung kabur. Bisa bisa jalur jalan yg cuma satu satunya disitu akan diblokir dengan cara menebang pohon akibat pemuda disitu marah karena si penabraknya langsung kabur tak ketahuan rimbanya.
Ada baiknya jika nabrak ternak, berhentilah dulu sejenak dan lihat bagaimana kondisi binatang tsb. Jika hewan itu mati dan tidak bisa berdiri, segera selesaikan pembayaran ditempat. Urusan harga memang bisa molor tidak karuan. Satu harga ayam yg ditabrak misal, bisa kena denda sekitar 200 ribu, itu dihitung jika ayam itu masih bisa bertelur dan bertelur lagi dimasa depan seandainya ayam nahas itu masih hidup. Jadi biarpun secara fisik kita melindas mati satu ekor ayam, tapi hitungan harganya bisa bablas sampai ke calon telur yg sebetulnya secara fakta belum tampak mata karena belum dilahirkan. Cara seperti ini mungkin terdengar ganjil, didaerah lain misal di Jawa Barat, jika ada kambing ketabrak mobil, bisa jadi malahan sipemilik mobil marah besar karena mobilnya bonyok gara gara si kambing tidak diikat didalam kandang dan malahan lepas dijalanan.
Hal menarik lainnya adalah disini kita gampang menemukan “wong jowo”. Dipasar adalah jamak jika mendadak kita dengar org ngobrol dengan bahasa Jawa tulen, atau juga Sunda. Yaa mirip dengan bahasa Jawa Timuran, Sunda, atau Jawa Tengah halus. Rupanya komunitas Jawa eksis disini dan gampang terlihat. Tentu saja orang Jawa disini sudah berubah menjadi “Jalur” alias Jawa-Alor. Dari dialek bicaranya berubah menjadi dialek lokal, tekanan suaranya, bahkan volume suara juga berubah semua. Jika disambut dengan bahasa nenek moyangnya barulah mereka akan berubah spt asal usulnya dahulu.
Di Kalabahi, mesjid juga gampang ditemui, selain tentu saja dominasi gereja ditiap kampung. Resto jawa atau makanan yg dimiliki oleh org muslim masih banyak disini. Jadi bukan hal sulit untuk mencari makanan “halal” apabila jalan jalan kemari buat turis yg muslim. Bahkan ketika kita menjauh dari dalam kota menuju kampung Alor kecil, disana masih terlihat ada mesjid.
Tidak rugi jika ke Alor, sekalipun pariwisatanya belum tertata baik. Siapkan cengdem karena matahari sangat terik disini. Biarkan kulit menjadi gelap, dan jelajahi kepulauan ini dengan semangat. Alor adalah daerah yg penuh warna, beda dari bagian lain dari NTT. *** hsgautama.blogspot.com
Ovak Vuvue, bahasa Rote, artinya meniti buih ombak.
No comments:
Post a Comment
PERHATIAN :::::::::::
* Komentar DI MODERASI oleh admin dengan persetujuan.
* Komentar HANYA soal isi blog ini saja. Promo dilarang disini, maaf.
* Jika kalian penipu online, fake onlineshop jangan harap bisa posting disini. Blog ini tidak dipakai buat numpang aksi penipuan oleh pihak lain. Carilah makan halal sana dan jangan menipu.
* NO offensive item, NO haters gak jelas, NO kekerasan, NO SARA, NO Sex item whatsoeva, NO Judi online, NO drugs, NO Alcohol, NO praktek dukun mistik dan pesugihan.