Hari pertama (03 Juni) tiba dan bertemu di Cengkareng bersama Nefran dari tempat masing masing, pesawat Batavia air jurusan Kupan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami delay hingga satu jam. Berangkat sore hari ke airport diantar oleh Seila dari rumah, dan langsung berhenti di terminal 1 B. Take off yg sangat terlambat disore hari toh membuat kita masih bisa menikmati suasana sunset dari ketinggian 2000 kaki diatas daratan. Suasananya teduh dan menyenangkan mata. Pikir pikir tidak rugi juga telat takeoff sesore ini.
Malam mendekati jam 7 waktu setempat pesawat menyentuh landasan El Tari Kupang dengan mulusnya (Kupang lebih satu jam dibanding waktu Jakarta), udara disekitar airport lumayan dingin menggigit tanpa angin keras. Saya sempat kaget dengan dinginnya udara malam disini. Seingat saya, Kupang yg saya tau tidak sedingin ini udaranya. Udara dingin ini sempat membuat khawatir rencana mancing tidak akan berjalan bagus. Ini semacam tanda alam. Cuaca sedingin ini akan membuat napsu makan ikan tidak akan bagus. Lautan bisa menjadi kosong melompong tanpa ikan yg bagus. Selagi masih sempat terheran2 dengan cuaca dingin, lamunan buyar karena bertemu dengan penjemput kami berdua, teman saya Eliazar Ballo yg datang bersama temannya Robi. Kami dengan barang bawaan segera meluncur kedalam kota untuk makan malam di “Kupang Café”, salah satu resto bagus milik om Robi yg juga salah satu pemancing kawakan disini.
Kupang adalah “raksasa” diseluruh jejeran kota di Nusa Tenggara Timur. Kota padat dengan geliat ekonomi yg bergerak cepat. Disini tempat perputaran roda ekonomi propinsi yg paling mencolok dan bertemunya semua suku asli dari jajaran Timor, Rote, Alor, Lembata, hingga sepanjang Manggarai dan Flores. Sayangnya, biarpun menjadi ibukota propinsi, toh secara fisik pembangunan mencolok berjalan biasa saja.
Menyambangi Kupang rasanya seperti kembali menyusuri lorong kenangan masa lalu ketika akan mendarat di Kupang, NTT. Kota ini dikenal baik sebagai wilayah “Timor Barat”, melengkapi rangkaian dari “Timor Timur”. Siapapun da yg kerap mondar mandir di Timor Leste biasanya akan tau juga gimana situasi di Kupang juga. Wilayah Barat dan Timur memang mirip saudara sekandung yg saling melengkapi. Sayang, situasi politik akhirnya membuat wilayah ini bercerai dan tidak lagi hidup dalam satu atap yg sama.
Menggambarkan Kupang paling mudah yakni dengan melihat jalanan didalam kotanya yg membingungkan menembus area datar dan perbukitan curam. Penuh cabang dan simpang siur. Sepintas mirip dengan suasana jalanan kota Bandung yg penuh simpang dan ruas jalan tidak nyambung. Jalan utama dan jalan cabang saling sambung centang perentang. Tata kotanya tampaknya tidak berjalan baik. Orang disini tampaknya juga tidak hapal nama jalan. Mereka lebih mudah mengingat nama kampung yg ada disepanjang jalan. Jadi agak susah bertanya arah jalan, misal saja bertanya “Dimana jalan Jend Sudirman?”, biasanya mereka akan bingung. Tapi coba sebutin nama kampungnya, maka masyarakat yg ditanya akan mudah memahami.
Pertama, suara car sound system nya gokil abis, kenceng mampus, berisik edan. Antara satu angkot dengan lainnya akan bersaing keras dalam soal suara audio dari dalam kabin. Apalah, sebut aja begitu, pokoknya sumpah kenceng nya gila gilaan. Kuping gak bakalan kuat jika ada didalam sana. Pendatang yg tiba disini dan naik angkot akan terkaget kaget dengan mewahnya penataan audio didalam mobil dengan speaker merata dari depan kebelakang, plus equalizer, dan amplifier (penguat) yg berlebihan. Dentumannya sangat nonjok ketelinga sampai terasa berdenging keras. Didalam angkot, enaknya memang gak usah ngobrol. Abis mau ngobrol apa lagi kalo suara musiknya sekenceng itu dari speaker mobil? Jangankan ngobrol, minta angkot berhenti saja didekat titik tujuan juga susahnya ampun, harus teriak sekuatnya. Ketika ditaya, kenapa mereka memasang sound system begitu kerasnya, ternyata penumpang disini tidak mau naik kedalam angkot yg sepi tanpa musik keras. Polisi disini juga membiarkan saja angkot memasang suara sekeras itu sekalipun berpotensi membuat celaka dijalan akibat telinga tidak bisa mendengar suara diluar kabin mobil.
Kedua, angkot di Kupang selalu penuh dengan stiker yg ditempel disana sini. Mulai dari kaca depan, pintu mobil hingga kekacanya. Desain stiker ada yg djual bebas tapi ada juga yg memakai cara stiker potong sendiri. Cara ini mirip dengan lukisan dibelakang mobil truk yg mondar mandir sepanjang jalur pantura. Cuma bedanya ini pakai bahan stiker bukan cat. Selain stiker, mereka juga suka melapisi kaca film model cermin satu arah dimobilnya. Jangan Tanya, jika matahari tinggi, kaca mobil akan memantulkan sinar matahari kemana mana, silau abis.
http://hsgautama.blogspot.com/search/label/A-SALE
Ketiga, semua angkot pakai antena. Ya betul antena panjang 1,5 m dibagian ekor mobil. Ada yg memberi satu, tapi banyak juga hingga 4 buah antena. Jika belum puas dibelakang, antena bisa ditambah di bemper depan plus diatas kap mobil. Sepintas mobil mirip landak penuh duri berdiri, hahaha. Tapi itulah uniknya, secara fisik memang bodi mobil tampak ramai dengan asesoris antena sama dengan ributnya suara audio mobil.
Keempat, angkot disini pakai klakson berirama dan sopir selalu membunyikan suara horn setiap 5-20 meter. Bayangkan jika ada 5 angkot ngetem disatu titik yg sama dan berebutan penumpang, bisa dipastikan semuanya membunyikan klakson bersamaan. Dan ini menimbulkan suara super riuh disana sini. Kebiasaan membunyikan horn tampaknya menjadi hobi tersendiri buat para sopir angkot. Rasanya, tidak sah angkot jika tidak bolak balik menekan tombol horn. Suara keras audio system dan suara berisik klakson mobil yg berirama kian menegaskan betapa riuhnya jalanan dikota Kupang.
Diluar soal keunikan angkot, penduduk Kupang juga dikenal gemar dengan dansa diperhelatan pesta. Acara besar tidak sah tanpa dansa, dan semua orang di Kupang dipastikan tau apa dan bagaimana dansa yg oke punya. Dansa disini jangan diartikan seperti jingkrak jingkrak di tempat dugem lho. Kalo mengambil contoh di disko yg cuma “godek godek” didepan speaker atau lompat sana sini, maka dansa diacara pesta setempat dalam arti sesungguhnya. Langkah teratur, pola berirama, dan indah dilihat mata. Jika tidak ada pesta, kelompok mudanya akan datang ke resto khusus yg menyediakan live music khusus untuk dansa. Satu malam ketika kami makan di resto “SR” (nama disamarkan) yg dilengkapi dengan organ tunggal dan vocalis nya, beberapa anak mudanya melakukan dansa bergantian. Kami sambil makan dan mendengarkan suara “super-super kencang” dari speaker, kami melihat bagaimana dansa dilakukan oleh pasangan pasangan ini. Makanan dan dansanya enak, tapi suara speakernya sungguh bikin jantung sampe copot, hahaha. Kita makan disini cuma diem saja karena memang gak bisa mendegar baik lawan bicara ngomong apa saking kerasnya suara speaker. Really crazy loud, like a super concert. Entah mungkin beda gaya. Buat saya, seharusnya makan malam bisa diselingi ngobrol renyah sambil menikmati makan, kenyataannya kita sama sekali gak bisa ngobrol gara gara kerasnya suara.
Siang cuaca sangat terik. Panas disini beda rasanya dengan panas dikota manapun di Indonesia. Tapi dibanding Jakarta dan Surabaya, tentu saja panas di Kupang terasa lebih nyaman karena udara bersih membuat sinar matahari lebih bright. Langit biru pekat dan bersih dengan deretan pantainya yg panjang. Sayangnya, pantai didalam kotanya masih kalah jauh bersihnya dengan pantai Losari di Makasar. Disini pantai masih ada sampah berserakan. Citra Kupang sebagai target wisata bahari bisa amblas melihat kotornya pantai dikota.
Penduduknya baik dan ramah, sekalipun tabiatnya tampak keras karena cara bicaranya yg memang bersuara keras dan seolah membentak bentak. Buat yg tidak terbiasa, kesannya mereka marah kepada kita. Padahal sih engga. Mereka baik kepada pendatang spt kami. Disini paling mencolok adalah melihat bagaimana penduduk Kupang suka memakai helm sepeda motor kemana mana. Di mall, ditoko, dimanapun helm dipakai dikepala. Masalah helm lenyap saat motor dipakir memang menjadi masalah tersendiri yg menyebalkan. Jadi tidak aneh jika melihat mereka kemana mana memakai helmnya.
Muka penduduknya hampir mirip dengan Ambon dibanding dengan “tetangganya” sesama Timor. Artinya disini melihat “cowo ganteng” dan “cewe cakep gubrak” adalah biasa. Tentu saja “cakep” disini artinya mebawa ciri suku dan rasnya yakni kulit hitam dan rambut ikal atau keritng. Di Kupang banyak dijumpai “tampang keren”.
Entah kenapa saya ingat salah satu teman (cewe) saya yg dulu mencari cowo dengan kriteria: berkulit gelap dan setia. Jika itu yg diinginkan, seharusnya dia kesini, karena di Kupang banyak cowo ganteng. Dan tentu saja mereka berkulit gelap. Hahaha, secara fisik kriteria terpenuhi kan, tapi gak tau kalo soal setia gak tau yak arena itu gak akan pernah bisa keukur jelas disemua manusia manapun, cowo atau cewe (garis bawahi itu ya: cowo dan cewe)
Kupang kota yg unik sebetulnya. Sayang wisatanya belum masih dalam skala tanggung dan amatiran. Mau hidup tapi ngos ngosan, mau mati pun tak mau. Seharusnya, mereka menjadi target destinasi wisata yg bagus karena airport Kupang adalah kota yg mempunyai arah tujuan ke kota besar lain. Sayang, isinya cuma begini begini saja. Jikapun ada wisata, maka itu tentu saja wisata diving dan mancing. Semuanya untuk wisata bahari. Sedangkan wisata didaratnya masih tanggung dan tidak bagus. Sayang beribu sayang. ****hsgautama.blogspot.com
Jun 13, '08
Ovak Vuvue , bahasa Rote, artinya meniti buih ombak.
mungkin pemerinta daerahnya kurang dalam mengelola objek wisata disana yah.. klo memang punya potensi, harusnya digali dan dikembangkan donk, biar wisata daerah timur ikut maju..
ReplyDeleteAgak lambat mmg harusnya keunikan ini jadi daya tarik sendiri buat disana
ReplyDelete